Nasehat Ilahi

Halaman

Mencapai Telaga Kautsar

Meniti Jembatan Cinta
Mencapai Telaga Kautsar
Telaga Kautsar adalah cinta…

Tentang kesinambungan cinta Rasulullah. Cinta pada umatnya, sejak mula hingga akhir. Di dunia ini, kemarin, hari ini dan esok, entah seberapa banyak umatnya yang menyambut cinta itu. Rindu berjumpa Nabi menghunjam. Rindu yang tak terobati di bumi, amat diharapkan dapat terwujud di sana .

Di telaga itu. Mereguk lantunan cinta dan diperkenankan mengobati haus yang mendera. Mendinginkan ketakutan yang datang bagai tangan angin raksasa yang meremas jiwa.
Seperti kisah nyata dari Kiai D. Zawawi Imran, tentang seorang nenek tua penjual bunga cempaka di Madura. Nenek itu menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan, ia pergi ke ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, memasuki masjid dan melakukan shalat zuhur. Setelah membaca wirid, ia keluar dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan daun yang berceceran. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan sebelum perempuan tua itu datang. Hari itu, ia datang dan langsung masuk ke dalam masjid. Usai shalat, ketika ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak satu pun daun terserak. Ia kembali kedalam masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang pun menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. ”Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, ”Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.” Melihat perempuan itu terpukul, mereka membiarkannya mengumpulkan dedaunan seperti biasa. Seorang kiai kemudian diminta untuk menanyakan mengapa ia begitu bersemangat membersihkan daun-daun itu. Perempuan itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat, pertama, hanya kiai itu yang mendengarkan rahasianya. Kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.
Setelah nenek itu meninggal, barulah rahasia terkuak. ”Saya ini perempuan bodoh, Pak Kiai,” tuturnya. ”Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya ini tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafa’at dari Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya berharap Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepada beliau. Allahumma Shalli Alaa Sayyidina Muhammad wa Alaa Alihi Sayyidina Muhammad.” Subhanallah!!!
Perempuan tua itu melakukan apa yang ia bisa. Ia menghidupkan shalawat dalam hatinya. Cintanya pada Sang Nabi, diwujudkan dengan manusiawi. Sesuatu yang juga amat dianjurkan oleh Allah ta’ala dan Rasulullah. Perempuan tua itu berusaha membalas cinta Rasulullah sekuat kemampuan yang dimilikinya.
Betapa beruntungnya orang-orang yang pandai membalas cinta Allah dan Rasul-Nya. Mereka tentunya adalah orang-orang pilihan. Tentunya kita ingin termasuk kedalam golongan umatnya yang terpilih. Tentunya kita ingin pula beroleh syafa’at dari Rasulullah, junjungan mulia, di saat pengadilan Allah azza wa jalla tiba.
Di Telaga Itu Rasul Menanti…
Meskipun telah tiada, namun kecintaan Rasulullah kepada kita, umatnya, tiada pernah henti. Walau terkadang yang dicinta tak pandai membalas cinta, juga tak sadar kalau selalu didoakan keselamatan dan ditangisi kesulitan yang menimpanya. Kecintaan Beliau terhadap umatnya terbawa mati. Bahkan tidak berujung. Cinta itu selalu hadir, kapan dan bagaimanapun situasinya. Tak kenal suka maupun duka. Tak terbatas dunia dan akhirat.
Disana, di padang mahsyar, ketika segenap kita disibukkan oleh urusan kita masing-masing. Ketika kita digiring menuju pengadilan Tuhan Yang Mahabijaksana. Ketika kita dikumpulkan dalam keadaan telanjang dan tanpa alas kaki. Ketika matahari dengan sinarnya yang membakar hanya berjarak satu hasta dari atas kepala. Ketika rasa haus mencekik tenggorokan. Ketika ini dan itu terjadi, cinta itu kembali hadir. Hadir dalam sebuah telaga yang indah nan menyegarkan. Yang semua orang pasti berharap dapat meneguk airnya di tengah berbagai kesulitan yang mendera. Anas bin Malik ra pernah bercerita, ”Suatu hari, ketika Rasulullah sedang berada di tengah-tengah kami, beliau mengantuk. Mendadak beliau terbangun sambil tersenyum. Kami bertanya,”Kenapa engkau tersenyum, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Baru saja turun sebuah surat kepadaku.” Beliau lalu membaca surat Al Kautsar. Kemudian beliau bertanya,”Tahukah kalian, apa itu Al Kautsar?” Kami menjawab,”Allah dan Rasul-Nya yang tahu.” Beliau bersabda,”Ia adalah sebuah telaga penuh dengan kebajikan yang dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku. Pada hari kiamat nanti, umatku akan mendatangi telaga itu.” (HR. Muslim)
Ibnu Abbas juga pernah berkata,”Rasulullah ditanya tentang padang mahsyar tempat makhluk menghadap Allah; apakah disana ada air?” Beliau menjawab,”Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, disana ada air. Orang-orang yang dikasihi Allah akan mendatangi telaga para nabi. Allah akan mengutus 70.000 malaikat dengan tangan memegang tongkat dari neraka, yang digunakan untuk menghalau orang-orang kafir dari telaga para nabi.”
Keindahan fisik telaga itu tergambar dalam banyak sabda Rasulullah saw:
• Al Kautsar terdiri dari empat sudut.
• Telaga itu memancarkan kilatan cahaya bagai kilatan cahaya bintang.
• Jarak antara sudut yang satu ke sudut yang lain ditempuh dengan perjalanan 1 bulan.
• Telaga itu diisi dengan air yang putih dan bersih, lebih putih dari susu. Rasanya manis, lebih manis dari madu. Aromanya harum semerbak, lebih harum dari minyak kasturi (HR Bukhari).
• Di salah satu sudut telaga, terdapat satu sumber yang mengalir dari surga.
• Di telaga itu juga ada sepasang kran dari surga. Yang satu terbuat dari emas, dan satunya lagi terbuat dari perak (HR Muslim).
• Telaga yang luas itu juga dilengkapi dengan cangkir-cangkir surga yang indah bercahaya. Jumlahnya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang di langit, di malam yang gelap dan tak berawan.
”Orang yang berhasil meminumnya barang seteguk saja, tak akan pernah lagi merasakan kehausan selamanya.” Begitulah kata Rasulullah, si pemilik telaga menceritakan tentang keistimewaan telaganya.
Di telaga itu Rasulullah saw menanti umatnya…
Dengan luapan cinta dan kasih sayangnya, menyambut mereka yang sedang kehausan. Beliau sangat mengenali umatnya karena memang mereka memiliki tanda-tanda yang tidak dipunyai oleh siapapun dari umat lain. ”Kalian akan datang kepadaku dengan muka, lengan, dan betis yang berkilauan karena bekas air wudhu,” tegas beliau dalam sabdanya.
Perjalanan setelah telaga sungguh masih sangat panjang dan berat. Begitupun, bisa mampir dan minum di telaga Rasul itu sungguh sebuah karunia besar. Perjalanan memang belum lagi selesai. Tapi mendapatkan minum dari telaga yang sesudahnya tidak lagi ada haus sungguh sangat didambakan. Itu akan sangat meringankan, di hari ketika segalanya berubah begitu mengerikan, panas, haus, dan mencekam.
Hari ini, entah di ujung pelarian mana kita menuju. Tapak demi tapak adalah keniscayaan menuju kematian. Di telaga itu, kelak, Rasul setia menanti. Dengan cinta dan kasih sayangnya. Tak ada yang patut dilakukan, kecuali senantiasa memohon, agar bila tiba saatnya, kita bisa bertemu Rasul di telaga itu, lalu minum dengan sepuas hati. Disana, di telaga itu, Rasul menanti……